Fiqh : Jual Beli, Riba, Utang-piutang

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

a. Jual beli

Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad).

­­“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al – Baqarah: 275)

“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (An-Nisa: 29)

b. Riba

Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut peraturan syara’, atau terlambat menerimanya.

c. Utang Piutang

Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya mengutang Rp 2.000,- akan dibayar dengan Rp 2.000,- pula.

Firman Allah SWT :

(“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolongnya.

Sabda Rasulullah SAW

Dari Ibnu Mas’ud, “sesungguhnya Nabi SAW, telah bersabda, ‘Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali’.” (Riawayat Ibnu Majah)

“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.” (Riawayat Muslim)

2.2 Hukumnya

a. Jual Beli

Hukum-hukum jual beli

1. Mubah (boleh), merupakan asal hokum jual beli.

2. Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu juga kadi menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya), sebagaimana akan diterangkan nanti.

3. Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang.

4. Sunat, misalnya jual beli kepada sahabat atau family yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.

b. Hutang Piutang

Member utang hukumnya sunat, bahkan dapat wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.

2.3 Rukun dan Syaratnya

a. Rukun dan Syarat Jual Beli

1) Penjual dan pembeli, dengan syarat :

Ø Berakal

Ø Atas kehendak sendiri (bukan karena dipaksa)

Ø Keduanya bukan pemboros (mubadzir)

Ø Baligh

2) Uang dan benda yang dibeli dengan syarat :

Ø Suci, barang najis tisak boleh diperjualbelikan

Ø Ada manfaatnya

Ø Keadaan barang/uang dapat diserahterimakan

Ø Keadaan barang kepunyaan yang menjual atau yang diwakilkan

Ø Barang itu diketahui oleh pembeli dan penjual

3) Lafadz (kalimat ijab qabul)

Ijab artinya perkataan penjual. Misalnya saya jual barang ini dengan harga sekian.

Qabul artinya penerimaan dari pembeli. Misalnya saya teima dengan harga sekian.

Ijab dan qabul harus memenuhi syarat :

Ø Keadaan ijab dan qabul bersambung

Ø Hendaklah mufakat ma’na keduanya, walaupun lafadz keduanya berlainan

Ø Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan yang lain

Ø Tidak berjangka. Jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah

b. Rukun Utang Piutang

Rukun utang piutang

1) Lafaz (kalimat mengutangi), seperti: “Saya utangkan ini kepada engkau.” Jawab yang berutang, “Saya mengaku berutang kepada engkau.”

2) Yang berpiutang dan yang berutang

3) Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang dapat dihitung, boleh diutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.

2.4 Macam-macam Riba

Macam Riba menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam :

a. Riba fadli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama).

b. Riba qardi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang member utang).

c. Riba yad (berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima).

d. Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya).

Sebagian ulama membagi riba itu atas tiga macam saja, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasa’. Riba qardi termasuk ke dalam riba nasa’. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas, perak dan makanan yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum, diperlukan tiga syarat yaitu tunai, serah terima dan sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘ilat ribanya satu seperti emas dengan perak boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilatnya ribanya berlainan seperti perak dan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.

Sabda Rasulullah SAW :

­Dari Ubadah bin Samit,”Nabi SAW bersabda, ‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai, dan serah terima. Apabila berlainan jenisnya, boleh kamu jual sekehendakmu, asal tunia.”(Riwayat Muslim dan Ahmad)

2.5 Bentuk Jual Beli dan Hak Khiyar

a. Bentuk-bentuk Jual Beli yang Dilarang

Bentuk-bentuk jual beli secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1) Jual beli yang sah dan halal, yaitu jenis jual beli tersebut telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sebagaimana disebutkan di atas dan tidak terdapat faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.

2) Jual beli yang tidak sah, yaitu bentuk jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli. Jual beli jenis ini jelas terlarang.

3) Jual beli yang sah tapi dilarang, yaitu jenis jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi terdapat faktor-faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.

b. Khiyar

Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.

Khiyar ada 3 macam yaitu :

Ø Khiyar Majelis

Artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.

“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Habislah khiyar majelis apabila,

- Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih untuk meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.

- Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.

Ø Khiyar Syarat

Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari.”

Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.

Sabda Rasulullah SAW :

“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)

Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.

Ø Khiyar ‘aibi (cacat)

Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu tersuatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).

Aisyah telah meriwayatkan,”Bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu ia adukan perkaranya kepada Rasulullah SAW. Keputusan beliau, budak itu dikembalikan kepada si penjual.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi)

Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpamanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab ada cacatnya itu.

Barang yang bercacat itu hendaklah segera dikembalikan, karena melalaikan hal ini berarti rida pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang bepergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah haknya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.

Barang yang dikembalikan karena cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan misalnya binatang yang dibeli tadi kurus, sekarang sudah gemuk maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya; berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila di tanaman itu dapat dipisahkan misalnya anaknya, atau sewanya yang menghasilkan di tangan si pembeli maka tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa di tangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.

Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah SAW. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengar keputusan tersebut, lalu dia bertanya, “Barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya apa tidak?

Jawab Rasulullah SAW :

“Buah (hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (Riwayat Tirmizi)

Jadi apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan ilmu Al-Qur’an tersebut agar kita dapat memahami dan mempelajari serta mengetahui tentang jual beli, riba dan hutang piutang.

3.2 Saran

Dari hasil makalah ini penulis mengharapkan agar seluruh yang membacanya mudah memahami dan menghapal apa yang telah dijelaskan pada makalah ini, supaya bisa menggali ilmu untuk mencapai generasi yang benar-benar memahami dan mengerti ilmu tentang jual beli, riba dan hutang piutang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Fiqh

1. Kifayatul Achyar Oleh Muhammad Taqiuddin

2. Fiqh ala Muzahib Arba’a oleh Panitia Negara di Mesir

B. Hadist

1. Shabih Bukhari

2. Umdatul Qari/Syarah shahih Bukhari oleh Badrul ‘aini

C. Tafsir

1. Ahkamul Qur’an karangan Ibnul ‘Arab

2. Tafsir Ayatul Ahkam (Muzakkirat Perguruan Tinggi Al – Azhar) karangan Husaini Sultan Abdussalam Askari dan Abdurahman Taj.

Posting Komentar untuk "Fiqh : Jual Beli, Riba, Utang-piutang"