Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya diistilahkan Problem Based Learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis berbentuk ill-stuctured atau openended melalui stimulus dalam belajar.
Pembelajaran Model Problem Based Learning dikembangkan sekitar 25 tahun yang lalu dalam dunia kedokteran dan sekarang telah dipakai pada semua tingkat pendidikan.
Pembelajaran Model Problem Based Learning berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, menemukan dan mendiskusikan masalah serta mencari pemecahan masalah, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Siswa mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Siswa terbiasa memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergumul dengan ide-ide.
Dalam pembelajaran Model Problem Based Learning tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, dan memfasilitasi belajar. Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah kehidupannya.
Dari pembahasan di atas dapat diduga bahwa pembelajaran dengan Model Problem Based Learning bisa meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar efektif dan kreatif, dimana siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya,
menemukan pengetahuan dan keterampilannya sendiri melalui proses bertanya, kerja kelompok, belajar dari model yang sebenarnya, bisa merefleksikan apa yang diperolehnya antara harapan dengan kenyataan sehinggga peningkatan hasil belajar yang didapat bukan hanya sekedar hasil menghapal materi belaka, tetapi lebih pada kegiatan kenyataan (pemecahan kasus-kasus) yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran (diskusi kelompok dan diskusi kelas).
Problem Based Learning memiliki karakteristik-karakteristik sebagai
berikut :
1. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan
2. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa
3. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu
4. Memberikan tangggung jawab sepenuhnya kepada siswa dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri
5. Menggunakan kelompok kecil
6. Menuntut siswa untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Jonassen (dalam Suchaini 1999 : 215) dalam mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasika dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan Problem Based Learning. Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi :
1. Pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek
2. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain
3. Sumber-sumber informasi
4. Cognitive tools
5. Pemodelan yang dinamis
6. Percakapan dan kolaborasi
7. Dukungan Kontekstual/social Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada siswa dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda dan alat-alat yang dibutuhkan siswa dalam memecahan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna.
Aktivitas menggambarkan interaksi antara siswa, objek yang dipakai dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu siswa untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori siswa dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi siswa. Fleksibilitas kognisi mereprensentasi content dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan.
Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berpikir divergen dalam proses representasi masalah.
Sumber-sumber informasi bermanfaaat bagi siswa dalam menyelidik permasalahan. Informasi dikonstuksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Cognitive tools merupakan scaffolding bagi siswa untuk meningkatakan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu siswa untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir, menganalisis mengorganisasi dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatau fenomena. Pemodelan membantu siswa untuk menjawab pertanyaaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui?” dan “apa artinya?”. Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Dukungan social dan kontekstual diakomodasikan oleh guru-guru sejawat dan staf teknis diakomodasikan untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran. Guru-guru dan staf teknis saling memberikan ide-ide pemecahannya yang dapat membantu pemecahan masalah.
Model desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik didukung oleh pemodelan (modeling), coaching dan scaffolding. Modelling berbentuk pemodelan tingkah laku untuk mendorong kinerja dan pemodelan kognitif untuk mendorong proses kognisi. Modelling difokuskan pada kinerja ekspert sebagai model. Coaching dipakai untuk mengembangkan kinerja (performance) siswa yang sifatnya kompleks dan tidak jelas (unclear).
Coaching mencakup kegiatan pemberian motivasi, memonitor dan meregulasi kinerja siswa dan mendorong refleksi. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis dibandingkan modelling dan coaching yang difokuskan pada tugas, lingkungan belajar, guru dan siswa. Scaffolding memberikan dukungan secara temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan siswa. Scaffolding mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas dan memberikan penilaian alternatif (alternative assessment). Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat dalam mendesain pendekatan Problem Based Learning. Fogarty (dalam Suchaini 1997 : 21) proses pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning dijalankan dengan delapan langkah yaitu :
1. Menemukan masalah
2. Mendefinisikan masalah
3. Mengumpulkan fakta-fakta
4. Menyusun dugaan sementara
5. Menyelidiki
6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan
7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif
8. Menguji solusi permasalahan
Untuk lebih jelasnya lagi ke delapan langkah-langkah proses pembelajaran Model Problem Based Learning yang di kemukakan oleh Fogarty (dalam Suchaini 1997 : 21) diuraikan sebagai berikut :
1. Menemukan masalah
Siswa diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari.
Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa untuk melakukan penyidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal Untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) Hudoyo (dalam Suchaini 2002 : 95). Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi siswa dalam mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah.
Krulik & Rudnick (dalam Suchaini 1996 : 32) hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut :
a. Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas
b. Memotivasi siswa yang menjadikan belajar terasa menyenangkan
c. Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang terbentuk standard-problem
d. Mendorong siswa memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu
e. Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined
2. Mendefinisikan masalah
Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
3. Mengumpulkan fakta-fakta
Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, siswa mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”,dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
4. Menyusun dugaan sementara
Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
5. Menyelidiki
Siswa melakuakan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan
fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan siswa dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and understanding) dunia mereka.
6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan
Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalahdenganmerefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif
Siswa berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap penyimpulan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternative yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
8. Menguji solusi permasalahan
Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Siswa menggunakan kecerdasaan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.
Pendekatan Problem Based Learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir Willis & Wright (dalam Suchaini 2000 : 241). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive) Wilson & Cole (dalam Suchaini 1996 : 7). Pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning juga memberikan peluang bagi siswa untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki siswa Gardner (dalam Suchaini 1999 : 89). Keterlibatan kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan masalah. Guru membentuk kelompok-kelompok siswa yang jumlah anggotanya 4-5 orang Boud & Felleti (dalam Suchaini 1997 : 47).
Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk penyelesaiannya dan melakukan pengujian dengan perhitungan dan menyajikan hasilnya di depan kelas. Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasisiswa berpikir untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan siswa berpikir secara metakognisi. Ketika siswa menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, siswa membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat dihilangkan. De Porter (dalam Suchaini 2001 : 13) menyatakan, dalam situasi ini siswa mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika siswa dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.
Belajar dengan Problem Based Learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatan Problem Based Learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis.
Pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (dalam Suchaini 1981 : 65) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu:
1. Memahami masalah
2. Menyusun rencana pemecahan
3. Menjalankan rencana pemecahan
4. Menguji kembali penyelesaian yang diperoleh.
Dwiyogo (dalam Suchaini 2000 : 73) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakaukan oleh siswa mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi dan menyimpulkan jawaban.
Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan Problem Based Learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakan secara nyata dan autentik.
Penilaian pembelajaran dengan Problem Based Learning dilakukan dengan authentic assessment. O’Malley dan Pierce (dalam Suchaini 1996 : 89) mendefinisikan authentic assessment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi dan sikap terhadap kegiatan
pembelajaran yang relevan. Penilaian dapat dilakukan dengan portofolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaaan siswa yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran.
Marzano (dalam Suchaini 1993 : 154) mengemukakan bahwa penilaian dengan portofolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Menurut Oliver 9 (dalam Suchaini 2000 : 5) penilaian kolaboratif dalam pendekatan Problem Based Learning dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment. Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh siswa itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh siswa itu sendiri dalam belajar Griffin dan Nix (dalam Suchaini 1991 : 140). Peer-assessment adalah penilaian di mana siswa berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaiaan tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya Griffin dan Nix (dalam Suchaini 1999 : 35).
Oleh : Yuliza
Posting Komentar untuk "Konsep Tentang Model Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)"