A. Latar Belakang
Salah satu kebutuhan manusia
adalah berinteraksi dengan
sekitar, baik dengan sesama
manusia ataupun dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya
bertujuan untuk kelangsungan
hidupnya. Salah satu
alat yang digunakan
manusia untuk berinteraksi adalah
bahasa. Dengan bahasa seseorang
dapat mengungkapkan pikiran, ide,
perasaan, dan kemauannya
kepada orang lain. Menurut
Anwar (1984: 20) bahasa
dan masyarakat tidak
dapat dipisahkan, keduanya memiliki
hubungan erat, keduanya saling
mendukung, oleh karenanya
keberadaan bahasa tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya.
Sejak lahir
manusia sudah diajarkan
untuk berbahasa sebagai
sarana berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran
bahasa secara formal didapatkan
oleh anak-anak mulai
dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada
yaitu pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan melalui sebuah
proses belajar mengajar.
Dalam interaksi belajar
mengajar ada dua pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam
proses pembelajaran yang baik yaitu siswa yang
harus aktif dalam
proses pembelajaran, tidak
seperti proses pembelajaran konvensional di mana siswa hanya
menjadi pendengar saat guru menerangkan materi, tetapi siswa yang lebih banyak
bicara tentang materi, seperti dalam diskusi kelompok, siswa diarahkan
oleh guru agar
siswa mau bertukar
pikiran dengan teman-teman
sekelasnya. Media yang
digunakan dalam proses
diskusi tersebut adalah
melalui komunikasi lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari
perkotaan berbeda dengan siswa kawasan
pedesaan. Kegiatan belajar
mengajar pada siswa
yang bersekolah di kawasan
perkotaan mayoritas menggunakan
bahasa Indonesia, karena bahasa ibu yang digunakan
oleh siswa adalah
bahasa Indonesia. Berbeda
dengan siswa yang bersekolah di
kawasan pedesaan mereka
lebih sering berkomunikasi
lisan menggunakan bahasa daerah.
Hal tersebut yang
menjadi masalah saat
pelajaran bahasa Indonesia berlangsung.
Di sekolah kawasan
pedesaan guru harus
lebih berkerja keras dalam
mendekatkan siswa pada bahasa
Indonesia, bagi siswa
yang terbiasa menggunakan bahasa
daerah contohnya siswa yang
berasal dari daerah
Sunda maka mereka saat pelajaran
bahasa Indonesia berlangsung
pun siswa akan
kesulitan menyesuaikan diri dengan
harus berkomunikasi lisan
dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar. Di sekolah menengah pertama, pelajaran
Bahasa Indonesia menjadi salah
satu pelajaran wajib.
Seharusnya siswa sudah mampu menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik
dan benar dalam
situasi formal seperti saat
kegiatan pembelajaran berlangsung atau saat siswa melakukan aktivitas
diskusi kelompok, bagi siswa
yang berasal dari kawasan pedesaan akan
kesulitan karena mereka tidak
terbiasa menggunakan bahasa tersebut.
Salah
satu
sekolah menengah pertama
yang terletak di kawasan
pedesaan adalah SMP Negeri 2
CIBALIUNG, di kecamatan CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang. Siswa yang
bersekolah di SMP terserbut umumnya berasal dari desa-desa di sekitar
sekolah,
seperti Desa Mekarwangi,
Sodong, Ciandur. Lokasi
sekolah berjarak 20 km dari selatan kota Pandeglang. Siswa di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG mempunyai latar bahasa yang berbeda-beda, namun
sebagian
besar mereka berasal dari keluarga
petani yang kesehariannya menggunakan bahasa Sunda
sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka ada yang
masih canggung menggunakan
bahasa Indonesia dalam percakapan saat belajar mengajar
berlangsung seperti saat berdiskusi kelompok. Beberapa fakta yang
dijelaskan di atas
menimbulkan masalah yang
tidak ditemui pada
siswa-siswa di sekolah kawasan
perkotaan yang sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari-hari,
atau paling tidak
mereka tidak canggung
berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia.
Siswa-siswa yang bersekolah di SMP kawasan
pedesaan seperti SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten
Pandeglang tentunya berbeda dengan
siswa dari perkotaan
yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.. Studi kasus ini dilakukan
untuk memperoleh data empirik
yang terkait dengan
pemunculan alih kode dan campur
kode dalam proses diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VII-A, VII-B,
VIII-A, VIII-B,VIIIC IX-A, IX-B,
IXC SMP Negeri CIBALIUNG, seperti persepsi
guru terhadap peristiwa alih
kode dan campur
kode yang terjadi
pada siswa, jenis-jenis atau
bentuk alih kode dan
campur kode, dan faktor penyebab
munculnya alih kode dan
campur kode. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui
permasalahan yang muncul pada
pembelajaran bahasa Indonesia
(aktivitas diskusi) pada sekolah
menengah pertama di kawasan
pedesaan agar menjadi
perhatian khusus bagi
guru-guru yang mengajar di sekolah kawasan pedesaan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, dapat dirumuskan
fokus penelitian dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Alih Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Indonesia
Pada Aktivitas Diskusi Siswa di SMP 2 CIBALIUNG?”
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah persepsi guru
terhadap peristiwa alih
kode dan campur
kode dalam aktivitas diskusi
kelompok, pada pelajaran Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
2. Bagaimanakah bentuk alih kode
dan campur kode yang terjadi
dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten
Pandeglang?
3. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya
alih kode dan
campur kode dalam proses diskusi kelompok
pada pelajaran Bahasa Indonesia di
kelas SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang?
D.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan hal-hal di bawah ini.
1. Persepsi guru
terhadap peristiwa alih
kode dan campur kode dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten
Pandeglang.
2. Bentuk
alih kode dan
campur kode yang
terjadi dalam proses diskusi kelompok, pada
pelajaran Bahasa Indonesia di
SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
3. Faktor-faktor
penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode dalam
proses diskusi kelompok,
pada pelajaran Bahasa Indonesia di
kelas SMP Negeri 2 CIBALIUNG,
Kabupaten Pandeglang.
E. Kegunaan
Penelitian
1.
Bagi peneliti, penelitian
ini bermanfaat untuk
mendapatkan hasil penelitian tentang persepsi guru,
bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode
dan campur kode dalam
proses diskusi kelompok
Bahasa Indonesia di
kelas VIII SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
2.
Bagi guru, penelitian ini dapat
menjadi masukan untuk memakai bahasa yang tepat
dalam mengajarkan materi
sehingga materi dapat
tersampaikan kepada peserta didik
(siswa) dengan jelas
dan peserta didik
dapat menangkap materi dengan
baik.
3. Bagi
siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
4.
Bagi sekolah,
hasil penelitian ini
dapat dijadikan acuan
dalam upaya mengadakan inovasi
pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain, dan meninggalkan
strategi pembelajaran yang monoton (konvensional), selain itu sekolah akan
mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa yang baik.
BAB
II LANDASAN TEORI
A.
Deskripsi Konseptual
1.
Hakikat Bahasa
Bahasa menurut teori
struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno,
2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989:
4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa:
yaitu sebagai berikut, (1) bahasa
adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal
(bunyi ujaran), (3) Bahasa tersusun
dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa bersifat unik (khas), (5)
bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa adalah alat komunikasi,
(7) bahasa berhubungan erat dengan
budaya tempat berada,
dan (8) bahasa selalu
berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan, 1989:
5-6), setelah menelaah
batasan bahasa dari enam sumber, membuat rangkuman sebagai
berikut.
a. Bahasa adalah
suatu sistem yang
sistematis, barangkali juga
oleh sistem generatif.
b. Bahasa adalah
seperangkat lambang-lambang manasuka
atau simbol-simbol arbitrer.
c. Lambang tersebut
terutama sekali bersifat
vokal tetapi mungkin
juga bersifat visual.
d. Lambang-lambang atau
simbol-simbol tersebut mengandung
makna konvensional.
e. Bahasa dipergunakan
sebagai alat komunikasi
atau sarana pergaulan
sesama insan manusia.
f. Bahasa beroperasi
dalam suatu masyarakat
bahasa (a speech
community) atau budaya.
g. Bahasa pada
hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia
saja.
h. Bahasa diperoleh
semua orang atau
bangsa dengan cara
yang hampir atau banyak
bersamaan; bahasa dan
pembelajaran bahasa mempunyai
ciri-ciri kesemestaan.
Bahasa juga
dapat diartikan sebagai
sarana komunikasi manusia
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan informasi
kepada orang lain.
2. Ragam Bahasa
Bahasa mempunyai
beberapa ragam, Joos
(dalam Nababan, 1993:
22) membagi gaya atau ragam bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
a. Ragam Baku
Ragam baku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang
dipergunakan dalam situasi-situasi yang
khidmat dan upacara
resmi. Dalam bentuk
tertulis ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah
seperti undang-undang dasar dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi
ialah ragam bahasa
yang dipakai dalam
pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah
ragam bahasa yang
sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa
di sekolah, perusahaan,
dan rapat-rapat usaha
yang berorientasi kepada hasil
atau produksi; dengan
kata lain, ragam
ini berada pada tingkat yang paling
operasional.
d. Ragam Santai
Ragam bahasa santai
antarteman dalam
berbincang-bincang, rekreasi,
berolah raga, dan sebagainya.
e. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah
ragam bahasa antaranggota
yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak
perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup
dengan ucapan pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan
pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan
bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata)
khas bagi suatu keluarga atau kelompok.
3. Kontak Bahasa
Bahasa tidak akan pernah lepas dari manusia
dan kehidupan manusia. Bahasa tumbuh
dan berkembang dalam
masyarakat. Dalam masyarakat
yang terbuka di mana
tiap-tiap individu dapat
menerima kehadiran individu
lain maka akan
terjadi kontak bahasa. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) menyatakan bahwa kontak bahasa
adalah istilah yang
digunakan dalam sosiolinguistik untuk
mengacu pada situasi kontinuitas geografis
atau kekerabatan antarbahasa
atau antar dialek
(jadi ada saling berpengaruh). Menurut Chaer
(1994: 65) bahasa
masyarakat yang datang
akan mempengaruhi bahasa masyarakat
yang dimasuki. Hal
yang sangat menonjol
yang bisa terjadi dari
adanya kontak bahasa ini
adalah terjadinya bilingualisme
dan multilingualisme, dengan berbagai
macam kasusnya, seperti
interferensi, integrasi, alih
kode, dan campur kode.
Mackey (dalam Rusyana, 1989:
4) menyatakan bahwa
kontak bahasa adalah pengaruh suatu
bahasa kepada bahasa
lainnya yang menimibulkan
perubahan dalam langue, dan
menjadi milik tetap bukan saja
dwibahasawan melainkan juga ekabahasawan. Kontak
bahasa itu berlangsung bukan hanya
dalam diri perorangan melainkan dalam situasi
kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua itu.
Oleh karena itu
kontak bahasa dianggap
merupakan bagian dari
kontak yang lebih luas,
yaitu kontak budaya. Kontak
bahasa terjadi dalam
diri penutur secara individual.
Kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi saat
seseorang belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas
dapat disimpulkan bahwa kontak bahasa
manusia itu dipengaruhi
oleh norma-norma dan
nilai sosial. Jadi
dalam sosiolinguistik
pengkajian bahasa harus
disesuaikan dengan kehidupan
manusia dan sekitarnya, baik
sosial maupun budaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme
dalam bahasa Indonesia
sering disamakan dengan kedwibahasaan. Bilingualisme
menurut Mackey dan
Fishman (dalam Chaer, 1995: 112)
diartikan sebagai penggunaan
dua bahasa oleh
seseorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Senada
dengan pendapat Mackey
dan Fishman, Kridalaksana
(1974: 25) menyatakan bahwa
bilingualisme ialah penggunaan dua bahasa secara berganti-ganti oleh satu
orang atau satu
kelompok. Ketika seseorang menggunakan
dua bahasa dalam pergaulannya
dengan orang lain, ia berdwibahasa dalam
arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut dengan bilingualisme (Dako,
2004: 269).
Dalam KUBI ( 1996: 185) bilingualisme
didefinisikan sebagai hal penguasaan atas dua bahasa oleh penutur bahasa di
suatu masyarakat bahasa, sedangkan bilingual berarti mengenal
dua bahasa dengan
baik: bangsa Indonesia
kebanyakan mengenal bahasa Indonesia
dan bahasa daerah.
Haugen (dalam Muharam,
2011: 199) berpendapat kedwibahasawan adalah
tahu dua bahasa. Jika
diuraikan secara lebih umum
maka pengertian kedwibahasawan adalah
pemakaian dua bahasa
secara bergantian baik secara
produktif maupun reseptif
oleh seorang individu
atau oleh masyarakat.Kedwibahasawan
dengan tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau aktif.
Nababan
(1984: 32) menyebut
bilingualisme dengan bilingualitas
yang berarti kemampuan dalam
dalam dua bahasa.
Menurut Nababan, bilingualitas
dapat dibagi menjadi dua seperti
berikut.
a. Bilingualitas
sejajar yaitu hubungan antara kemampuan dalam kedua bahasa pada orang yang
berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku kedua bahasa
itu adalah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk
terjadi ketika dalam
keadaan belajar bahasa
kedua setelah menguasai satu
bahasa (bahasa pertama
atau utama) dengan
baik, khususnya dalam belajar bahasa kedua atau asing di sekolah.
Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa
kedwibahasaan adalah peguasaan atas paling tidak dua bahasa yakni bahasa
pertama dan bahasa kedua. Ahli lain, Nababan berpendapat kedwibahasaan
adalah kebiasaan menggunakan
dua bahasa daam interaksi dengan
orang lain (1984:
27). Menurut Mackey
(dalam Kunjana Rahardi, 2001: 14)
memberikan gambaran tentang
kedwibahasaan sebagai gejala
tuturan. Kedwibahasaan
dianggapnya sebagai karakteristik
pemakaian bahasa, yakni
praktik pemakaian bahasa secara
bergantian yang dilakukan
oleh penutur. Pergantian
dalam pemakaian bahasa tersebut
dilatarbelakangi dan ditentukan leh situasi
dan kondisi yang dihadapi oleh
penutur itu dalam tindakan bertutur.
Kridalaksana (dalam Paul
Ohoiwutun, 2002: 67) membagi kedwibahasaan dalam tiga kategori.
a. Bilingualisme
koordinat, dalam gejala ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem
bahasa yang terpisah.
Seorang bilingual koordinat,
ketika menggunakan satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari
bahsa lain. Pada waktu beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran
sistem.
b. Bilingualisme
majemuk sering “mengacaukan” unsur-unsur dari kedua bahasa yang dikuasainya.
Kadang-kadang kita menyaksikan
orang-orang Indonesia yang bekerja
sebagai buruh Malaysia melakuakan
“kekacauan”dimaksud (linguistic interference).
c. Kedwibahasaan sub-ordinat.
Fenomena ini terjadi
pada seseorang atau masyarakat yang
menggunakan dua sistem
bahasa atau lebih
secara terpisah. Biasanya masih
terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual sub-ordinate masih
cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua
atau bahasa asing yang dipelajari.
Menurut Ponulele
(1994: 25) di
dalam bilingualism terdapat
para penutur yang menguasai
dua bahasa atau
lebih dan mereka disebut
bilingual. Istilah ini bersifat
relatif sekali, dalam arti
belum diperoleh kesatuan pendapat dari
para ahli bahasa tentang
batas-batas kemampuan penguasaan
bahasa seseorang untuk
dapat dikatakan sebagai seorang
bilingual. Bloomfield (dalam
Ponulele, 1994: 24) merumuskan bilingual sebagai native like
of two language, dengan pengertian bahwa bilingual adalah seorang penutur yang
mampu menggunakan dua bahasa yang sama baiknya. Jadi menurut Bloomfield
seseorang baru dapat menyandang gelar bilingual apabila dia
mampu menggunakan secara
aktif kedua hahasa
sebagaimana kemampuan saat ia menggunakan bahasa ibunya.
Crystal (dalam Ponulele,
1994:24) berpendapat yang
mendukung pendapat Bloomfied
dengan mengatakan bahwa
seseorang dikatakan bilingual
bilamana dia mampu menguasai beberapa
bahasa dengan fasih dan lancar, akan tetapi dijelaskan lagi bahwa rumusan ini
mengacu pada kriteria yang terlalu ekstrim, orang yang meguasai dua bahasa
secara sempurna memang ada,
namun hal ini merupakan
kecualian bukanlah keharusan. Sebagian besar bilingual sebenarnya didak
mampu menguasai dua bahasa dengan kadar
kualitas yang sama. Biasanya penguasaan bahasa ibu lebih fasih daripada
penguasaan bahasa kedua. Sebagai contoh saat seseorang dilahirkan di Jawa Tengah,
dan setelah dewasa ia
bekerja dan menetap
di Jakarta, walaupun dia sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia karena saat bersekolah di Jawa tengah
pun ia mendapakan pelajaran
bahasa Indonesia namun
ia akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia
bertemu dengan orang dari asal daerahnya dia akan memilih berkomunikasi dengan
bahasa daerah (Jawa).
Bilingualisme yang
sering terjadi di
Indonesia adalah bilingualisme
bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia. Berdasarkan pendapat para
ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa kedwibahasaan
adalah penguasaan dua
bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan
situasi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua
bahasa yang berbeda
berdasarkan situasi dan
kondisi di mana penutur melakukan tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode ialah
suatu sistem tutur
yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai
ciri-ciri khas sesuai
dengan latar belakang
penutur, relasi penutur
dengan lawan bicara, dan
situasi tutur yang
ada. Kode biasanya
berbentuk varian-varian bahasa yang
secara nyata dipakai
berkomunikasi anggota-anggota masyarakat
bahasa (Poedjosoedarmo, 1976: 3).
Suwito (1985: 67) menyatakan
bahwa kode adalah salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan
yang dipakai dalam
komunikasi. Suwito juga
menyatakan bahwa alat komunikasi
yang merupakan varian
dari bahasa dikenal
dengan istilah kode. Dengan
demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam kode.
Menurut Richards (dalam
Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa
kode adalah istilah yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau
dialek.
Dari pendapat-pendapat di
atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah untuk menyebut
bahasa atau ragam
bahasa, dalam pebicaraan
sesorang tentu mengirimkan kode-kode
tertentu kepada lawan
bicaranya, dengan kode-kode tersebut maka penutur dan lawan
tutur dapat berkomunikasi dengan lancar.
Ponulele (1994:21)
merumuskan hubungan hierarki
antara kontak bahasa, bilingualisme, alih kode, dan campur
kode dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Hubungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih
Kode, dan Campur Kode.
Jadi adanya
bilingualisme disebabkan terjadinya
kontak bahasa, dan
akan mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih kode dan
campur kode.
6. Alih Kode
a.
Pengertian Alih Kode
Dalam
keadaaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan
sering terdapat orang mengganti
bahasa atau ragam
bahasa, hal ini
tergantung pada keadaan atau
keperluan berbahasa itu.
Kejadian itu disebut
alih kode. Konsep alih kode ini
mencakup juga kejadian
beralihnya satu ragam bahasa
(umpamanya ragam santai)
ke ragam lain
(umpamanya ragam formal),
atau dari satu dialek
ke dialek lain
dan sebagainya (Nababan,
1993: 31-32).
Pengartian alih kode menurut Kamal (2012) adalah Alih
kode pada hakikatnya merupakan
pergantian pemakaian bahasa
atau dialek. Rujukannya
adalah komunitas bahasa atau dialek.
Appel (dalam
Chaer, 1995: 141)
mendefinisikan alih kode
sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi.”. Gumperz (dalam, Gulzar
2010: 26) code-switching is: "the
juxtaposition within the same
speech exchange of
passages of speech
belonging to two
different grammatical systems or
sub-systems”. yaitu, alih
kode adalah penjajaran dalam pertukaran
bahasa yang sama
dari bagian-bagian dari
bahasa yang termasuk dua sistem
tata bahasa yang berbeda atau sub-sistem.
Hymes (dalam
Chaer, 1995: 142)
menyatakan alih kode
itu bukan hanya terjadi antarbahasa,
tetapi dapat juga
terjadi antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam
Dako, 2004: 271) ada dua jenis alih
kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis.
Alih kode situasional terjadi pada saat perubahan bahasa
menurut kebutuhan situasi yang dikenal
oleh penutur itu
sendiri, dimana dalam
sebuah situasi mereka berbicara
dengan sebuah bahasa
dan pada situasi
lain mereka berbicara dengan
bahasa lain. Alih
kode metaforis memiliki
dimensi afektif dimana kita
menegaskan kembali kode dengan
perubahan, baik dari
situasi formal ke stuasi
informal, resmi ke
keadan santai, serius
ke keadaan humor, dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa
yang lain pada waktu ia berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut
Suwito (1985: 68) alih kode
adalah peristiwa peralihan
dari kode yang
satu ke kode
yang lain. Namun, di dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan
varian (baik varian regional, varian
kelas sosial, ragam,
gaya, ataupun register)
sehingga peristiwa alih kode mungkin
berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register.
Peralihan demikian dapat diamati baik lewat tingkat-tingkat tata bunyi, tata
kata, tata kalimat, maupun wacananya.
Crystal
(dalam Skiba, 1997)
berpendapat suggests that code,
or language, switching occurs
when an individual
who is bilingual
alternates between two languages
during his/her speech with
another bilingual person. A person who is bilingual may be said
to be one who is able to communicate, to varying extents, in a second language.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalihan kode atau
bahasa, sering terjadi ketika seseorang yang memiliki kemampuan menguasai lebih
dari satu bahasa mengganti bahasanya
pada saat berbicara dengan orang
lain yang memiliki dua
bahasa bisa dikatakan
menjadi salah satu
yang bisa berkomunikasi, pada tingkat
yang bervariasi dalam bahasa kedua.
Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa
alih kode melibatkan peralihan kalimat. Dari berbagai pendapat di atas alih
kode dapat didefinisikan sebagai peristiwa
peralihan pemakaian bahasa
dari satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam
bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala kebahasaan (campur
kode) ini faktor
paling menetukan adalah
penutur, saat seorang penurut
sedang melakukan campur
kode, maka harus
diketahui identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya.
Setelah itu baru
unsur kebahasaan yang
menetukan terjadinya alih kode.
dengan makin banyak
bahasa yang dikausai
oleh seorang penutur dari latar belakang pendidikannya,
makin luas kemungkinan untuk bercampur kode.
dari penjabaran tersebut,
ada dua tipe
yang menjadi latar
belakang terjadinya alih kode,
yaitu; latar belakang
sikap dan latar
belakang kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih
kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing
bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya.
b. Fungsi masing-masing
bahasa disesuaikan dengan
situasi yang relevan dengan perubahan konteks.
c. Macam-macam Alih Kode
Suwito (1985: 69)
membedakan adanya dua
macam alih kode,
yaitu sebagai berikut.
a. Alih kode
intern
Alih kode
intern adalah pergantian
atau peralihan pemakaian bahasa yang
terjadi antardialek, antarragam,
atau antargaya dalam lingkup satu bahasa.
b. Alih kode
ekstern
Alih kode
ekstern adalah perpindahan
pemakaian bahasa dari satu bahasa
ke bahasa lain
yang berbeda. Perpindahan
tersebut dapat berupa perpindahan
dari satu bahasa
daerah ke bahasa
daerah lain, perpindahan dari
bahasa daerah ke
bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah
ke bahasa asing,
dan perpindahan dari
bahasa nasional ke bahasa asing.
Alih kode
intern yang biasanya terjadi
dalam pembelajaran di sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan
ragam santai, alih kode ragam resmi dan
ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam
santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern yang sering terjadi yaitu
alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua
macam yaitu sebagai berikut.
a) Alih kode sementara
Alih kode
sementara yaitu pergantian
kode bahasa yang dipakai
oleh seorang penutur
berlangsung sebentar. Pergantian itu bisa
hanya berlangsung pada
satu kalimat lalu
pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya.
b) Alih kode permanen
Alih kode
permanen adalah alih
kode yang sifatnya permanen. Alih
kode permanen terjadi
apabila penutur secara tetap
mengganti kode bicaranya
lawan tutur. Tidak
mudah bagi seseorang untuk
mengganti kode bicaranya
terhadap seseorang lawan bicara
secara permanen, sebab
pergantian ini biasanya berarti adanya
pergantian sikap relasi
terhadap lawan bicara secara
sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode
Chaer (1995: 143)
menyebutkan yang menjadi
penyebab alih kode yaitu:
(1) pembicara atau penutur,
(2) pendengar atau
lawan tutur, (3) perubahan
situasi hadirnya orang
ketiga, (4) perubahan dari formal
ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Beberapa
faktor penyebab alih
kode menurut Suwito
(1985: 72-74) sebagai berikut.
a) Penutur,
alasan penutur yang
melakukan alih kode
dengan maksud tertentu. Seorang penutur atau
pembicara terkadang melakukan
alih kode terhadap mitra
tuturnya karena ada
maksud dan tujuan
tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa
setelah beberapa saat
berbicara dengan dosennya mengenai
nilai mata kuliahnya
yang belum tuntas dan dia baru
tahu bahwa dosennya itu
berasal dari daerah yang
sama dan juga mempunyai bahasa
ibu yang sama pula.
Agar urusannya cepat selesai, maka mahasiswa tersebut
melakukan alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa daerahnya
agar semuanya bisa
berjalan lancar dalam
mengurus nilainya.
b) Lawan tutur. Lawan
bicara atau lawan
tutur dapat menyebabkan
terjadinya alih kode karena
sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan bicaranya. Misalnya,
penutur bugis berusaha
mengimbangi lawan bicaranya yang
kebetulan orang mandar
dengan menggunakan bahasa mandar pula.
c) Hadirnya penutur
ketiga, misalnya alih
kode tersebut dilakukan
untuk menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati. Perubahan
situasi karena hadirnya
orang ketiga Kehadiran
orang ketiga yang tidak
berlatar belakang bahasa
yang sama dengan
yang di gunakan oleh
penutur dan lawan
bicara yang sedang
berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis, kemudian si
C tiba-tiba datang dan
tidak menguasai bahasa bugis. Dengan demikian si
A dan si B beralih kode dari bahasa bugis ke bahasa indonesia.
d) Pokok pembicaraan
(topik). Topik pembicaraan merupakan
hal dominan yang
menentukan terjadinya alih kode.
Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapakan dengan
ragam baku dengan
gaya netral dan
serius. Sedangkan pokok pembicaraan
yang bersifat informal
disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba
seenaknya.
e) Untuk
membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. Dalam sebuah
pembicaraan biasanya orang
akan melakukan alih kode
guna membangkitkan rasa
humor dalam pembicaraan,
agar suasana yang taginya serius dan tegang dapat mencair dan lebih
santai.
f) Untuk sekedar
bergengsi. Walaupun faktor situasi,
lawan bicara, topik,
dan faktor situasional
tidak mengharapkan adanya
alih kode, terjadinya
alih kode, sehingga tampak adanya
pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif.
Beberapa
alasan beralih kode
yang dikemukakan oleh
Kammarudin (1989: 60-62) seperti berikut.
1) Karena sulit
membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar
pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan
sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk
mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan
orang lain.
6) Menekankan
solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan
yang disapa.
8) Menjelaskan hal
yang telah disebutkan.
9) Membicarakan
peristiwa yang telah lalu.
10) Untuk
meningkatkan status atau
gengsi atau kekuasaan
atau keahlian seseorang.
Dari ketiga pendapat
tentang faktor penyebab
alih kode yang
telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih
kode adalah sebagai berikut.
1) Penutur, alasan
penutur yang melakukan
alih kode dengan
maksud tertentu.
2) Lawan tutur,
alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan
tuturnya.
3) Perubahan situasi
hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik
pembicaraan.
5) Perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk
membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar
bergengsi.
8) Untuk menegaskan
sesuatu hal atau
untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi di kalangan
pembicara.
9) Mengutip ucapan
orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan peralihan
kode tersebut. Fungsi
alih kode dan
fungsi campur kode hampir
sama. Di bawah
ini adalah fungsi
alih kode yang
dikemukakan oleh Kammarudin
(dalam Wulandari, 2002: 21).
1) Untuk menegaskan
suatu hal atau
untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas
kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk
menghormati.
4) Untuk
meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip
ucapan orang lain,
misalnya ingin mengutip
ucapan orang lain dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode
yang dilakukan oleh
seorang penutur pasti mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan
alasan penutur tersebut beralih kode.
Dari faktor penyebab
atau alasan penutur
beralih kode, dapat disimpulkan bahwa
fungsi alih kode
antara lain untuk
menyantaikan, menegaskan, membujuk, menghormati, menyegarkan, dan
menerangkan. Alih kode
berguna sebagai strategi
komunikasi untuk menyampaikan informasi.
7. Campur Kode
a. Pengertian Campur Kode
Di antara sesama
penutur yang bilingual
atau multi lingual,
sering dijumpai sebagai suatu
kekacauan atau interferensi
bahasa (performance
interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa
tertentu dalam satu
kalimat atau wacana
bahasa lain. Gejala
tersebut dinamai campur kode
(code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan
(1993: 32) campur
kode adalah suatu
tindak bahasa bilamana orang
yang mencampur dua
(lebih) bahasa atau
ragam bahasa dalam suatu
tindak bahasa (speech
act atau discourse) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu
yang menuntut pencampuran
bahasa. Nababan (dalam
Paul Ohoiwutun, 2002: 69)
juga menyatakan bahwa
campur kode adalah
“penggunaan lebih dari
satu bahasa atau
kode dalam satu
wacana menurut pola-pola yang
masih belum jelas”. Di Indonesia gejala campur kode tersebut sering disebut
dengan “ gado-gado”yang diibaratkan dengan sajian gado-gado, yakni campuran dari bermacam-macam sayuran.
Realita yang terjadi di Indonesia yaitu pencampuran pengguaan
bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah tertentu.
Weinreich (dalam
Paul Ohoiwutun, 2002:
69) menamai campur
kode sebagai “mixed grammer”. Campur kode didefinisikan sebagai pemakaian
satuan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau
ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76)
mengemukakan dalam campur
kode terdapat ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut.
1) Unsur-unsur
bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi
mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya
mendukung satu fungsi.
2) Dalam kondisi
yang maksimal, campur
kode merupakan konvergensi kebahasaan, unsur-unsurnya berasal
dari beberapa bahasa
yang masing-masing telah
meninggalkan fungsi-fungsi dan
mendukung bahasa yang disisipinya
3) Unsur-unsur
bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat frase saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu hubungan
timbal balik antar peran
dengan fungsi kebahasaan.
Peran adalah siapa
yang bercampur kode, fungsi
kebahasaan adalah apa
yang hendak dicapai
oleh penutur dalam tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79)
menyebutkan beberapa macam
campur kode yang berdasarkan
unsur-unsur kebahasaan yang
terlibat di dalamnya
yaitu sebagai berikut.
1) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata
sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau
kode dasar dari
bahasa lain merupakan
unsur yang menyebabkan terjadinya
campur kode dalam peristiwa berbahasa. Menurut
Oka dan Suparno
(1994: 25), kata
adalah serapan satuan bahasa yang
terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh : seorang pemimpin harus
mengayomi rakyat lahir dan batin
“seorang pemimpin harus dapat melindungi rakyat lahir batin.”
2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
Frasa
ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151). Frase dari bahasa
lain yang disisipkan oleh penutur
dwibahasawan ke dalam kode dasar
menimibulkan adanya campur
kode dalam tindak tutur masyarakat. Chaer (1998:
301) berpendapat bahwa
frasa merupakan gabungan dua buah
kata atau lebih
yang merupakan satu
kesatuan, dan menjadi salah
satu unsur atau
fungsi kalimat (subjek,
predikat, objek, keterangan). Contoh :
anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke rumah sakit. “anak korban
tabrak lari itu sudah dibawa ke balai pengobatan.
3) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Bentuk baster
yaitu suatu bentuk
bahasa akibat adanya penggabungan kata
dasar (asal bahasa
Indonesia) dengan kata tambahan (asal bahasa Inggris) misalnya
kata dasar hutan + imbuhan isasi menjadi hutanisasi. Bentuk ini
juga mengakibatkan adanya campur kode dalam masyarakat
bilingual. Menurut Thelender (dalam
Suwito, 1985: 75),
baster merupakan
klausa-klausa yang berisi
campuran dari beberaa
variasi yang berbeda. Contoh : semua
data yang ada
di komputer itu
jangan lupa dibackup sebelum
diinstal ulang. “semua data yang ada di
komputer itu jangan lupa disimpan ulang
di folder yang
berbeda sebelum computer
diinstal ulang.
4) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
Unsur berupa
pengulangan kata yang
diambil dari bahasa
lain yang disisipkan ke dalam kode dasar menyebabkan campur kode dalam interaksi sosial.
Pengulangan tersebut dapat
berupa pengulangan seluruh kata
dasar, pengulangan sebagian
dari dasar, dan
pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Contoh :
dana itu turun bebarengan dengan kenaikan harga sembako. “dana itu turun bersamaan dengan kenaikan
harga sembako.”
5) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Unsur-unsur ungkapan
dari bahasa lain
dimasukkan ke dalam kode
dasar akan membentuk
campur kode dalam
peristiwa tutur. Menurut Kridalaksana, 1985: 80) ungkapan atau idiom
adalah kontruksi yang maknanya tidak
sama dengan gabungan
makna anggota-anggotanya.
6) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa dijelaskan
sebagai satuan gramatikal
yang terdiri dari subjek dan predikat, baik disertai
objek, pelengkap, keterangan atau tidak. Klausa
dari bahasa lain
yang dimasukkan ke
dalam kode dasar
akan menyebabakan campur kode
dalam peristiwa tutur. Oka
dan Suparno, (1994: 26)
klausa merupakan satuan
gramatikal unsur pembentuk kalimat yang bersifat predikatif. Contoh :
pemimpin yang bijaksana
akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani. “pemimpin yang
bijaksana akan selalu bertindak di depan emberi
teladan, di tengah mendorong
semangat, di belakang mengawasi.”
d. Faktor Penyebab Campur Kode
Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya
campur kode pada dasarnya dapat
dikategorikan menjadi dua
tipe yaitu tipe
yang berlatar belakang pada
sikap dan tipe
yang berlatar belakang
kebahasaan. Alasan atau penyebab
lain yang mendorong terjadinya campur kode adalah sebagai berikut.
1). Identifikasi peranan.
Ukuran untuk
identifikasi peranan adalah
sosial, registral, dan edukasional.
2). Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam
ditentukan oleh bahasa
di mana seorang
penutur melakukan campur kode
yang akan menempatkan
dia di dalam
hierarkhi status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan tampak karena
ca mpur kode juga
menandai sikap dan hubungannya terhadap
orang lain dan sikap dan hubungan orang lain
terhadapnya.
Suwito (1985: 78)
juga menyatakan campur
kode terjadi karena
ada timbal balik antara
peranan atau siapa
yang memakai bahasa
itu dan fungsi kebahasaan atau
apa yang ingin
dicapai penutur dalam
tuturannya. Artinya, penutur mempunyai
latar belakang sosial
tertentu cenderung memilih
bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan
oleh penutur baik secara
sadar maupun tidak sadar.
Campur kode yang
dilakukan secara sadar
apabila penutur mempunyai tujuan tertentu,
menunjuk ke suatu
hal yang tidak
dapat diungkapkan dengan bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena
tidak adanya ungkapan yang tepat
dalam bahasa yang
dipakai penutur. Faktor-faktor
yang mempengaruhi campur kode
adalah penutur, petutur,
dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan
untuk melaku campur kode. Keheterogenan
latar belakang petutur
seperti usia, status
sosial, dan tingkat pendidikan
menuntut kepandaian penutur
dalam memilih bahasa yang
tepat. Namun demikian, dalam
hal ini yang
paling penting adalah
penutur harus mengetahui bahwa
petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik pembicaraan memungkinkan terjadinya
campur kode, karena ada beberapa topik yang cenderung menuntut pemakaian kode
bahasa tersendiri.
e. Tujuan Pemakaian Campur Kode
Menurut
Suwito (1985: 78)
tujuan-tujuan yang hendak
dicapai oleh penutur dalam
tuturannya sangat menentukan
pilihan bahasanya. Suwito
juga mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam,
antara lain penutur ingin menunjukkan
keterpelajarannya, ketaatan dalam
beribadah, dan kekhasan
daerahnya.
Menurut Nababan
(1993: 32) campur
kode dipakai penutur
untuk memamerkan keterpelajarannya atau
kedudukannya, selain itu
untuk mencapai ketepatan makna
ungkapan.
f. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode
sebagai berikut ini.
1) Untuk menegaskan
suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara
penuturnya.
2) Untuk
mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk
mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk
meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip
ucapan orang lain,
misalnya ingin mengutip
ucapan orang lain dengan bahasa
lain.
g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya adalah
digunakannya dua atau lebih varian
dari sebuah bahasa
dalam satu masyarakat
tutur. Dalam alih
kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki
fungsi otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar,
dan sengaja dengan
sebab-sebab tertentu. Dalam
campur kode ada sebuah kode
utama atau kode
dasar yang digunakan dan
memiliki fungsi dan
keotonomiannya sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam
peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan (speces), tanpa fungsi keotonomian sebagai sebuah
kode. berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan alih kode
dan campur kode adalah sama-sama
digunakannya dua bahasa
atau lebih dalam
masyarakat tutur yang dilakukan dengan sadar dan disengaja
karena sebab-sebab tertentu.
8. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode dan campur kode
adalah dua hal yang berbeda. Hal pokok yang membedakan antara
alih kode dan
campur kode yang
dikemukakan oleh Thelander (dalam
Suwito, 1985: 76) sebagai berikut.
1) Di dalam
alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang
lain dalam suatu
tuturan dan masing-masing
klausa masih mendukung fungsi
tersendiri.
2) Di dalam campur
kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster
dan masing-masing klausa
maupun frasanya tidak
lagi mendukung fungsi tersendiri.
9. Diskusi Sebagai Ragam Tuturan dalam Proses
Belajar Mengajar
Interaksi belajar
mengajar merupakan peristiwa
komunikasi yang berlangsung dalam
situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses belajar mengajar
seperti proses belajar
mengajar Bahasa Indonesia
merupakan peristiwa tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan
adalah ragam formal.
Selain ragam
bahasa formal, dalam
proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia juga menggunakan ragam
bahasa usaha (consultative). Tempat
berlangsungnya proses belajar
mengajar Bahasa Indonesia yang pada umumnya dilakukan di dalam ruangan,
walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar ruangan juga mempengaruhi
penggunaan ragam bahasanya.
Ditinjau dari etimoligis ,
kata diskusi berasal dari kata kerja “to discus‟ yang berarti
berunding atau membincangkan. Menurut
pendapat Suharyanti, (2011:39) diskusi adalah suatu bentuk kegiatan yang
terdiri dari beberapa orang (yang bertatap muka secara langsung) dalam bertukar
pikiran atau oendapat dan pandangan terhadap masalah untuk mencari pemahaman.
Menurut Winarso dan
Arief (2001: 68)
bahwa diskusi merupakan
sesuatu kegiatan kerjasama atau
atau aktivitas koordinatif
yang mengandung langkah-langkah
dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok.
Aktivitas berdiskusi
mempunyai tujuan yaitu
memperoleh hasil musyawarah dari
anggota-anggota keompok agar
dapat memecahkan masalah yang
akan diselesaikan. Suharyanti
(2011: 39-40) menjelaskan bahwa diskusi
mempunyai tujuan umum
dan khusus, yang
dijelaskan sebagai berikut.
a. Tujuan umum
1) Melatih siswa
atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis
2) Melatih mengemukakan
pendapat dan menghargai
pendapat orang lain.
3) Menumbuhkan dan
mengembangkan sifat senang
bekerja sama dengan orang lain.
4) Melatih siswa
atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif dan berperan kostruktif
terhadap suatu masalah.
5) Untuk
mengembangkan ide siswa/mahasiswa dalam memecahkan masalah yang memerlukan
musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi
masalah yang dihadapi individu atau kelompok yang berhubungan dengan mata
pelajaran atau kurikulum.
2) Untuk menyeesaikan
masalah yang bersifat
sosial dan yang
ada hubungannya dengan tingkah
laku baik dari
diri siswa/mahasiswa atau masyarakat.
3) Untuk menetukan
atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap dalam memecahkan masalah.
Jenis-jenis
diskusi juga ada
beberapa macam salah
satunya adalah iskusi kelompok
yang merupakan suatu
pembicaraaan yang terdiri
dari ekelompok peserta guna memecahkan
suatu masalah secara
bersama-sama dengan mempertimbangkan
baik dan buruk, dan
sekaligus menetapkan cara melaksanakan pemecahan yang baik
(Suharyanti, 2011: 41).
Diskusi kelompok di dalam kelas termasuk pada kelompok tak resmi, eperti pendapat Wanger dan Arnold
(dalam Wiranso dan
Arief, 200: 70) menggolongkan diskusi
kelompok yang tidak
resmi adalah sebagai
(1) kelompok studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3)
Komite
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu
landasan teoritis ertama tentang belajar
kelompok ini berasal
dari pandangan konstruktivis sosial. Menurut Vygotsky mental
siswa pertama kali
berkembang pada level interpersonal dan mereka belajar
menginternalisasikan dan mentrasformasikan interaksi interpersonal
mereka dengan orang
lain, lalu pada
level intrapersonal dimana
mereka mulai memperoleh
pemahaman dan keterampilan baru dari
hasil interaksi ini.
Dengan demikian sangat
baik bagi siswa
sejak dini diajarkan untuk
belajar berinteraksi dengan
sekitarnya baik itu
dengan teman sebaya atau
yang lebih dewasa,
agar mereka bisa
mendapatkan informasi-informasi
yang belum mereka
ketahui atau bertukar
pikiran agar mereka bisa
menyelesaikan tugas-tugas yang tidak
mampu mereka selesaikan sendiri, dengan musyawarah
bersama teman-teman yang
mempunyai pemikiran yang berbeda-beda
mereka akan lebih
mudah menyelesaikan masalah
mereka.
Dari
pengertian di atas
dapat disimpulkan diskusi kelompok adalah suatu
percakapan ilmiah oleh
beberapa orang yang
tergabung dalam suatu kelompok untuk saling
bertukar pendapat suatu masalah atau bersama-sama mencari
pemecahan mendapatkan jawaban atau kebenaran atas suatu masalah.
Proses
diskusi kelompok ini
dapat dilakukan melalui
forum diskusi diikuti oleh
semua siswa di
dalam kelas dapat
pula dibentuk kelompok-kelompok
lebih kecil.
Dalam diskusi kelompok
yang perlu diperhatikan
ialah para siswa dapat melibatkan dirinya untuk ikut
berpartisipasi secara aktif di dalam forum diskusi kelompok, jadi metode
diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran
dimana seorang guru
memberi kesempatan kepada
siswa (kelompok siswa) untuk
mengadakan percakapan guna
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan
atau menyusun berbagai
alternatif pemecahan atas masalah.
Teknik metode
diskusi kelompok sebagai
proses belajar mengajar lebih cocok dilakukan jika guru
memiliki tujuan antara lain.
1) Memanfaatkan berbagai
kemampuan yang ada
atau yang dimiliki oleh para siswa.
2) Memberikan kesempatan
kepada para siswa
untuk menyalurkan pendapatnya
masing-masing.
3) Memperoleh umpan
balik dari para
siswa tentang tujuan
yang telah dirumuskan telah tercapai.
4) Membantu para
siswa menyadari dan mampu merumuskan
berbagai masalah yang dilihat
baik dari pengalaman
sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan
motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Untuk dapat
mengoperasikan metode diskusi
kelompok ini ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan
bagi guru antar lain.
1) Guru menggunakan
masalah yang ada
didiskusikan dan memberikan pengarahan seperlunya
mengenai cara-cara pemecahannya,
hal terpenting adalah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya agar
dapat dipahami baik-baik oleh setiap siswa.
2) Para siswa
berdiskusi di dalam
kelompok dan setiap
anggota kelompok ikut berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok
melaporkan hasil diskusinya,
hasil-hasil yang dilaporkan itu
ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4) Akhir diskusi
para siswa mencatat
hasil-hasil diskusinya dan
guru mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok.
Diskusi kelompok
merupakan salah satu
pengalaman belajar yang diterapkan di semua bidang studi dalam
batasan-batasan tertentu, pengalaman diskusi
kelompok memberikan keuntungan
bagi para siswa
sebagai berikut : (1)
siswa dapat berbagi berbagai
informasi dalam menjalani
gagasan baru atau memecahkan
masalah, (2) dapat meningkatkan pemahaman atas masalah-masalah penting, (3)
dapat mengembangkan kemampuan
untuk berfikir dan berkomunikasi, (4) dapat
meningkatkan ketertiban dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan
dan (5) dapat membina
semangat kerjasama dan bertanggung jawab.
Diskusi kelompok
memiliki kelemahan-kelemahan yang
dapat menimbulkan kegagalan dalam
arti tidak tercapai
tujuan yang diinginkan.
Wardani
(Dalam Puger, 1997:9) dinyatakan
bahwa kelemahan-kelemahan dalam
diskusi kelompok antara lain : (1) diskusi kelompok memerlukan waktu yang lebih
banyak daripada cara
belajar yang biasa, (2)
dapat memboroskan waktu terutama
bila terjadi hal-hal
yang negatif seperti
pengarahan yang kurang tepat, (3)
anggota yang kurang agresif (pendiam, pemalu) sering tidak mendapatkan kesempatan
untuk mengemukakan pendapat
atau ide-idenya sehingga terjadi
frustasi atau penarikan diri, dan (4) adakala hanya didominasi oleh orang-orang
tertentu saja.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur
Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo”.
Ada perbedaan masalah yang diteliti dalam penelitian di atas dengan penelitian
ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari masalah yang
diteliti adalah masalah
campur kode, sedangkan
masalah yang diteliti dalam penelitian
ini adalah masalah
alih kode dan
campur kode. Selain
itu, ada hal yang
juga membedakan antara
penelitian ini dan
penelitian Dian Astutik
Wulandari yaitu subjek dan
objek penelitian. Dalam
penelitian ini yang
menjadi subjek penelitian adalah
siswa, objek penelitian
adalah semua pembicaraan
yang terjadi dalam proses diskusi siswa,
pendapat duru hanya
digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang persepsi guru
mengenai peristiwa alih kode dan campur kode dahasa dalam diskusi
siswa. Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan
oleh Dian Astutik Wulandari subjek
penelitiannya adalah pembina
dan peserta pramuka,
objek penelitiannya adalah semua
pembicaraan yang terjadi
dalam proses latihan kepramukaan
Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul
“Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo” sebagai
berikut: (1) adanya variasi campur kode
dalam penelitian tersebut
yaitu campur kode
bahasa (bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur kode ragam
(ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan ragam santai, dan ragam resmi
dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan dalam latihan kepramukaan
yaitu campur kode
wujud kata dan
campur kode wujud
frase, dan (3) fungsi
pemakaian campur kode
adalah untuk mempertegas,
meminta ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan makna yang tepat.
Penelitian
yang relevan kedua
adalah penelitian yang dilakukan
oleh Lina Puspita Sari
dengan judul penelitian
“Alih Kode dan
Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II
SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.” Dalam penelitian Lina Puspita
Sari yang menjadi subjek penelitian adalah
guru dan siswa,
objek penelitian adalah
semua pembicaraan yang terjadi dalam proses belajar
mengajar.
Hasil penelitian Lina
Puspita Sari yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas
II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri
Kaibupaten Wonogiri” sebagai berikut.
a. Bentuk alih
kode yang terjadi
dalam pembelajaran bahasa
indonesia kelas II SD
Negeri Selopukangberupa alih
kode intern ,
yaitu peralihan dari bahasa
Indonesia ke bahasa
Jawa; bentuk campur
kode yang terjadi
berupa campur kode
kata, campur kode
frasa, campur kode
klausa , dan campur kode
pengulangan kata.
b. Faktor yang
melatarbelakangi terjadinya alih
kode yang terjadi
yaitu untuk mengimbangi kemampuan
berbahasa siswa, kebiasaan
guru dengan mengunakan bahasa Jawa, untuk menarik perhatian siswa,
faktor penyebab terjadinya campur
kode yaitu rendahnya
penguasaan kosakata bahasa
Indonesia siswa, dan adanya unsure tanpa disadari oleh guru.
Penelitian
relevan yang ketiga
adalah hasi penelitian
dari Rima Fatimah
yang berjudul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang” dalam penelitian Rima Fatimah
yang menjadi subjek penelitian adalah
guru dan siswa
, sedangkan objek
penelitiannya adalah semua pembicaraan
siswa dan guru selama pelajaran
berlangsung. dalam penelitian tersebut ada
sembilan kelas yang
menjadi subjek penelitian
yaitu dari kelas
Xa sampai Xi. Hasil dari penelitian tersebut antara lain.
Macam-macam alih
kode yang terjadi
dalam proses belajar
mengajar bahasa Indonesia di
kelas X SMA
Negeri 1 Magelang adalah alih
kode intern dan
ekstern. Faktor penyebab alih
kode yang terjadi
dalam proses belajar
mengajar bahasa Indonesia di
kelas X SMA Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur; (2)
perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik pembicaraan; (4)
perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan
rasa humor.
Penelitian
yang relevan yang
keempat adalah thesis
yang ditulis oleh Malik Ajmal Gulzar
berjudul “Code-switching: Awareness
about Its Utility
in Bilingual Classrooms” yang dalam bahasa Indonesia berarti “alih kode:
kesadaran tentang penggunaan alih
kode dalam kelas bilingual (dwi bahasa)”.
Hasil penelitian dalam thesis ini adalah sebagai berikut.
Penelitian tersebut telah
memberikan hasil yang
signifikan untuk
menggarisbawahi bahwa para
guru tidak tahu
tentang batas-batas penggunaan alih kode dan fungsi
yang mereka bisa/ harus alih
kode untuk memenuhi kebutuhan siswa. Peneliti menemukan
hasil yang sedikit berbeda dengan
penelitian ini, dimana guru tidak menganggap
bahwa peristiwa alih
kode yang digunakan siswa selama pelajran berlangsung adalah sebuah
kesalahan, guru memaklumi keterbatasan siswa-siswanya. Hasil
wawancara dengan guru
mata pelajaran bahasa
Indonesia di SMP Negeri
2 kepil, guru
menganggap peristiwa alih
kode yang dilakukan
siswa adalah sikap yang salah dan
harus dibenahi.
Peneitian
yang relevan kelima
adalah tesis yang
ditulis oleh Yulia Mutmainnah, mahasiswa
S2 Universitas Diponegoro
Semarang yang berjudul “Pemilihan Kode
dalam Masyarakat Dwibahasa:
Kajian Sosiolinguistik pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang
Kalimantan Timur”. Objek penelitian dalam thesis tersebut berbeda
dengan penelitian ini,
dalam tesis tersebut
objeknya adalah masyarakat
jawa yang berada di Kota Bontang
Kalimantan Timur, sedangkan dalam penelitian
ini objek penelitiannya
adalah siswa yang
berdiskusi di dalam
kelas, namun mempunyai prsamaan
yaitu menganalisis alih
kode yang digunakan
atau dipilih dalam komunkasi. Hasil dari thesis ini adalah sebagai
berikut. Kode yang ditemukan
pada masyarakat tutur
Jawa di kota Bontang
adalah kode berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa (BJ), Bahasa
daerah lain (BL), dan Bahasa asing (BA), dengan faktor-faktor penentu berupa
(1) ranah, (2) peserta tutur, dan (3) norma. Pada alih kode dengan kode dasar
BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ,
muncul variasi alih kode BI. Campur kode pada masyarakat tutur Jawa memunculkan
campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan BL.
Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan
bahasa terjadi karena (1)
perubahan situasi tutur,
(2) kehadiran orang
ketiga, dan (3)
peralihan pokok pembicaraan, sedangkan
pada metaphorical codeswitching
perubahan bahasa terjadi karena
penutur ingin menekankan
apa yang diinginkannya. Campur
kode terjadi karena (1)
keterbatasan penggunaan kode,
dan (2) penggunaan
istilah yang lebih populer.
Penelitian
relevan yang keenam
adalah penelitian yang
dilakukan oleh Rizal Muharam, dengan judul “Alih Kode,
Campur Kode, dan
interferensi yang Terjadi
dalam Bahasa Indonesia
dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan
Deskriptif terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II
SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate)”. Dalam penelitian ini objek
penelitiannya adalah percakapan
siswa dan subjeknya adalah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota
Madia Ternate.
C.
Kerangka Berpikir
Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalah
satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan satu
orang dengan orang
lain, baik itu
antara guru dengan siswa
atau siswa dengan
siswa lainnya saat
berkomunikasi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa bahasa sangat
berperan penting bagi
dunia pendidikan, begitu
pula dalam pelajaran bahasa
Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan tersebut. Seharusnya
dalam pelajaran bahasa
Indonesia siswa dan
guru harus menggunakan bahasa
Indonesia secara baik
dan benar, namun
terkadang sekolah kawasan pedesaan
seperti SMP Negeri 2
CIBALIUNG, kabupaten Pandeglang
hal tersebut sulit dijalankan
dengan baik, karena siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia dalam keseharian
mereka, terlebih saat
diskusi kelompok berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berubah
menjadi percakapan yang
menggunakan dwibahasa yaitu
bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Sunda.
Keterbatasan
siswa dalam menguasai
bahasa Indonesia membuat
guru tidak bisa memaksakan siswa
untuk memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat kegiatan belajar
mengajar berlangsung, kalau
siswa dipaksa menggunakan
bahasa bahasa Indonesia secara
keseluruhan maka akan
menyulitkan siswa terlebih
saat diskusi kelompok. Siswa
akan terhambat dalam
menyampaikan ide yang
mereka punya, maka dari
itu guru memperbolehkan siswa
menggunakan alih kode
dan campur kode dalam
kegiatan diskusi tersebut.
Dengan penggunaan alih
kode dan campur kode
bahasa Indonesia dengan
bahasa Sunda maka
siswa akan lebih
mudah mengungkapkan ide yang mereka miliki, juga lebih mudah menerima
ilmu dari guru maupun siswa yang lain.
Untuk mengatahui
persepsi guru, wujud
dan macam, faktor
penyebab terjadinya campur kode
dan alih kode
dalam aktivitas diskusi
kelompok pelajaran bahasa Indonesia
di SMP Negeri
2 CIBALIUNG kabupaten
Pandeglang peneliti melakukan penelitian studi kasus.
BAB
III METODELOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian
akan dilakukan di SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten
pandeglang, yang terletak di
Jl. Desa Mekarwangi, kecamatan CIBALIUNG, kabupaten Pandeglang.
Waktu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2015 sampai dengan bulan
Mei 2015. Penelitian ini dilakukan pada
saat proses diskusi siswa SMP Negeri 2 CIBALIUNG berlangsung.
B. Metode dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian
ini adalah kualitatif
deskriptif. Penelitian kualitatif deskriprif menurut Moleong
(2001: 3) yang mengutip
pendapat Bogdan dan Taylor
adalah sebagai berikut:”Metode kualitatif
adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata–kata tertulis
atau lisan dari
orang–orang dan perilaku yang diamati”. Lebih lanjut Sutopo
(1991:35) menjelaskan data
yang dikumpulkan berupa kata-kata,
kalimat, atau gambar
yang memiliki arti
lebih dari sekedar angka
atau frekuensi. Penelitian
menekankan catatan yang
menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian
data.
Jenis penelitian
yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
studi kasus terpancang. Disebut
terpancang karena permasalahan
yang dibahas hanya mengangkat permasalahan
yang terjadi di
SMP kawasan pedesaan
dalam masalah pemakaian bahasa
Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya kagiatan diskusi. Sesuai dengan
tujuan penelitian, penelitian
ini berusaha mendiskripsikan terjadinya
alih kode dan
campur kode dalam
diskusi siswa SMP
Negeri 2 CIBALIUNG, kabuoaten Pandeglang. Dimana
siswa masih kesulitan
menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar dalam menyampaikan ide saat berdiskusi.
C. Sumber Data
Sumber data
dalam penelitian ini
adalah peristiwa penggunaan Bahasa Indonesia dan
informan oleh siswa SMP
Negeri 2 CIBALIUNG Kabupaten
Pandeglang dalam proses diskusi kelompok.
Objek penelitian ini
adalah campur kode
dan alih kode dalam proses
diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 CIBALIUNG. Selain itu sumber data juga
diperoleh dari informan,
yaitu guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan
siswa.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling
dimana pengambilan sampel
dari peristiwa kegiatan
pembelajaran di kelas, wawancara dengan
informan, yaitu guru
bahasa Indonesia kelas
VII, VIII dan, IX dan siswa yang
melakukan alih kode
dan campur kode
dalam diskusi, bertujuan agar peneliti dapat mengetahui seberapa
sering penggunaan alih kode yang digunakan saat pembelajaran Bahasa
Indonesia.
E.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a) Observasi
Teknik observasi
atau pengamatan dilakukan dengan penelti sebagai observator
partisipan pasif terhadap
peristiwa atau kegiatan diskusi kelompok
mata pelajaran Bahasa Indonesia
untuk memperoleh data tentang pemakaian
alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi.
b) Wawancara
Teknik
wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru mata pelajaran bahasa
Indonesia kelas VII, VIII dan, IX serta beberapa siswa dari kelas VII,VIII dan,
IX. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi lebih dari pengamatan
atau observasi yang dilakukan, setelah
melakukan observasi langsung diskusi
siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia, peneliti melakukan
wawancara untuk mengetahui
persepsi guru terhadap penggunaan alih kode dan campur kode
bahasa yang dilakukan siswa saat berdiskusi
dan mengetahui faktor-faktor
penyebab terjadinya alih
kode dan campur kode.
F.
Uji Validitas Data
Menurut
Denzim
(dalam Mahsun, 2005:
237) menyatakan bahwa
ada empat triangulasi untuk
menguji validitas data yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi peneliti,
(3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi
metode. Uji validitas data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Triangulasi metode
Triangulasi
metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dengan
metode yang berbeda,
yaitu observasi dan
wawancara. Metode ini dilakukan
untuk mengecek alasan
terjadinya alih kode dan
campur kode yang dikalukan siswa saat berdiskusi kelompok.
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber
data, yakni dengan
membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang
berbeda. Dalam hal
ini membandingkan data tentang alih
kode dan campur
kode bahasa yang
dilakukan siswa melalui data
yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada
siswa yang lain.
3. Review informan
Review
informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data diperoleh
dari guru dan siswa.
G.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis
data yang digunakan
dalam penelitian ini
adalah model analisis interaktif.
Analisis model interaktif
ini merupakan interaksi
dari empat komponen, yaitu:
pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data,
dan penarikan simpulan. Pada
saat melakukan tahap
pengumpulan data sekaligus
sesuai dengan kemunculan data
yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan
data adalah dengan
cara analisis dokumen, observasi,
dan wawancara. peneliti
mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya yang berkaitan
dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan penggunaan
bahasa yang gunakan
siswa dalam pelaksanaan
diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG.
b. Reduksi Data
Teknik ini
mengambil langkah yang
berupa pencatatan data yang
diperoleh dari hasil
observasi. Dalam pencatatan
tersebut dilakukan seleksi, pemfokusan dan
penyederhanaan data, data
mana yang akan
diambil. Hal tersebut bertujuan
untuk lebih memudahkan
dalam mengambil data-data
yang dianggap penting, yakni
tentang penggunaan bahasa
yang gunakan siswa
dalam pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri
2 CIBALIUNG. Proses reduksi terus
berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis.
c. Display Data
Melalui sajian
data, data yang
telah terkumpul dikelompokan
dalam beberapa bagian dengan
jenis permasalahannya supaya
mudah dilihat dan dimengerti, sehingga
mudah untuk dianalisis.
Penyajian data penelitian
yang diperoleh melalui analisis dokumen ataupun pada saat proses diskusi
berlangsung di kelas maupun
diperoleh melalui wawancara
dengan informan. Hal
tersebut meliputi: (1) data hasil
observasi yang diperoleh
peneliti pada saat
diskusi berlangsung, (2) hasil
wawancara dengan guru Bahasa Indonesia kelas VII
dan VII, dan (3) beberapa siswa
kelas VII dan VIII yang menggunakan alih kode dan campur kode saat melakukan
diskusi dengan teman sekelompoknya.
d. Penarikan Simpulan
Berdasarkan dari
hasil analisis terhadap
ujaran dan pembicaraan
antara guru dengan peserta
didik yang terjadi
pada proses pembelajaran
dan pada saat diwawancarai, kemudian
ditarik simpulan. Simpulan-simpulan tersebut diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Pada
penelitian ini data
yang diverifikasi meliputi: (1)
persepsi guru, (2)
bentuk-bentuk alih, dan (3)faktor-faktor penyebab
terjadinya alih kode
dan campur kode
dalam diskusi siswa.
Analisis
data yang digunakan
dalam penelitian ini
adalah analisis model interaktif Milles
dan Huberman (Sutopo,
2002: 187). Analisis
interaktif adalah analisis yang
terdiri dari pengumpulan
data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.
H.
Prosedur Penelitian
a. Tahap persiapan
a) Pengajuan judul
proposal
b) Pembuatan proposal
c) Sidang proposal
b. Tahap pelaksanaan
a) Perizinan
penelitian
b) Pengumpulan
data
c) Analisis data. Tahap
ini meliputi pengkajian
yang mendalam serta mengarah pada
tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis, pengumpulan data, dan analisis data.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengumpulan data dari hasil
wawancara mendalam dan observasi kegiatan
belajar siswa yang
diubah dari data
lisan menjadi data tulis.
c. Tahap akhir
Penyusunan laporan. Tahap ini
meliputi konsultasi dengan pembimbing, mengadakan
perbaikan, dan memperbanyak
laporan penelitian.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagong
Suyanto, et.al., (Eds.), 2007. Metode
Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Creswell,
John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among. Five
Tradition. London: SAGE Publications
Herdiansyah,
Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Nana
Sudjana, et.al., 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru
dan Pusat Pengajaran-Pembidangan Ilmu Lembaga Penelitian IKIP Bandung.
Noeng
Muhajir. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Sugiyono,
2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung:
Alfabeta
source
Posting Komentar untuk "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA DI SMP NEGERI 2 CIBALIUNG KABUPATEN PANDEGLANG"