Religiuitas Serawai; Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Bengkulu



Farrosy - Negara bahari, Indonesia mempunyai aneka budaya yang berkaitan dengan eksistensi laut sebagai tempat hidup dan mata pencaharian para nelayan. Sebagai suatu bentuk budaya, kehidupan nelayan juga terdiri dari adat-istiadat, norma, sopan-santun, etika, pandangan hidup dan ideologi pribadi yang akan menjadi way of life mereka, yang menentukan sistem perilaku dan artefak yang dihasilkan. Keberadaannya berfungsi sebagai upaya manusia menjawab tantangan yang dihadapnya. Tantangan ini dapat berasal dari alam atau lingkungan sosialnya. 

Sebagai contoh, Indonesia kaya kearifan lokal khas, yaitu suatu gagasan masyarakat setempat yang penuh kearifan dan bernilai baik sehingga tetap tertanam dan diikuti oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal yang masih dipelihara dengan baik di Suku Serawai (Bengkulu) adalah aturan adat tentang pembukaan lahan baru untuk pertanian, perkebunan ataupun perumahan. 



 Pengetahuan tentang filosofi nilai adat ini tidak didapatkan di bangku sekolah. Nilai adat ini mempunyai kepercayaan tersendiri yang mungkin berbeda dengan suku lain di sekitarnya. Salah satu dari tujuh etika untuk membuka lahan pertanian di Serawai adalah ulu tulang buntu, suatu istilah atau sebutan tanah/lahan datar yang terdapat lembah di salah satu sisinya, dimana lembah tersebut tidak memiliki mata air.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat tanah/lahan seperti ini tidak baik atau tidak boleh ditempati atau dibuka untuk ladang, kebun ataupun rumah. Banyak kejadian kesialan atau musibah yang dikaitkan dengan keadaan pelanggaran etika seperti ini. Di antaranya adalah meninggalnya salah satu anggota keluarga tanpa adanya alasan yang jelas, atau adanya anggota keluarga terkena penyakit-penyakit aneh, misalnya stres, gila dan lain-lain. Menurut kepercayaan, keadaan lahan seperti ini mempunyai penghuni makhluk halus/jin yang suka mengganggu manusia. 

Hal ini sesuai dengan karakter bahari yang sangat religiuitas. Koentjaraningrat (1996) juga mengatakan bahwa sifat hukum adat memiliki empat unsur yaitu: kepercayaan pada makhluk-makhluk halus, kepercayaan kepada kekuatan sakti, anggapan bahwa kekuatan sakti yang luar biasa itu dipergunakan sebagai magische kracht, dan anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.

Tidak hanya nilai religius, kita bisa melihat adanya unsur nilai toleransi dalam etika ini. Toleransi yang terkandung di dalamnya bisa dilihat dimana masyarakat Serawai yang memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan kepercayaan sehingga walaupun tidak mempercayai hal-hal ghaib, tetapi tetap menghormati aturan yang ada. 

Inilah wujud kehidupan bahari yang terdapat di Serawai, dimana sikap religiuitas dan toleran-akseptan masih dijunjung sedemikian rupa. Oleh karenanya, etika suku Serawai dalam pembukaan lahan, tanah  atau ladang ini telah menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Serawai.

Sumber:
Bevo Wahono, “Pendidikan Karakter Yang Bersumber Dari Kearifan Lokal Masyarakat Suku Serawai Bengkulu Selatan”, Jurnal Pembelajaran Biologi Universitas Sriwijaya.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Posting Komentar untuk "Religiuitas Serawai; Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Bengkulu"