Rekaman
sejarah menjelaskan, bahwa betapa tidak merisaukan pikiran dan hati anak
manusia, dimana agama yang diyakini oleh setiap pemeluknya berasal dari Tuhan
menjadi alat penghancur dan seolah-olah pesan dasar ajaran agama adalah untuk
menindas orang lain yang berbeda. Ironis, jika hingga hari ini agama masih
ditakuti oleh banyak manusia karena bukan menjadi sumber kebahagiaan dan acuan
hidup. Seperti halnya banyak terjadi dalam kasus penistaan agama.
Dalam
lebih 40 tahun terakhir, kasus penodaan agama di Indonesia memiliki “pola yang
sama” dan berbagai kasus selalu diawali dengan demonstrasi massa dan penegak
hukum menjadikan alasan keresahan masyarakat akibat aksi massa ini, termasuk
yang terjadi pada calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaha Purnama atau Ahok.
Ahok
ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian pada hari Rabu 16 November lalu
terkait dugaan penistaan agama menyangkut ucapannya soal surah al-Mā’idah 51
pada September lalu di Pulau Seribu. Sebenarnya, jika kita lihat dan cermati
masalah tersebut masih bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan bahwa dari
definisi penodaan agama sendiri masih tidak jelas dalam peristiwa ini. Terkait
dengan pernyataannya yang viral sehinga menimbulkan demonstrasi yang terbesar
pada tanggal 4 November lalu. Ahok sendiri mengatakan “menerima” keputusan
menjadikannya tersangka yang ia sebutkan sebagai “contoh yang baik untuk
demokrasi”.
Agama sebenarnya adalah
sebuah keyakinan yang dimiliki oleh manusia, yang yakin berasal dari Sang
Pencipta dan segala aturan yang menyertainya. Agama merupakan seperangkat
konsep, aturan hidup yang dilaksanakan oleh para pemeluknya. Berbicara tentang
agama kecenderungan subjektivitas sulit dielakkan. Seorang pakar dan ahli
Perbandingan Agama A. Mukti Ali mengatakan, barangkali tak ada kata yang paling
sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata ‘agama‘. Sehingga setiap
kali membahas agama akan membawa emosional keagamaan ke dalam setiap kajiannya.
Keberagaman agama di
dunia merupakan sebuah fakta tak terbantahkan atau lebih sering disebut dengan
pluralitas agama. Pluralitas merupakan sebuah Sunnatullah. Hal ini haruslah
disadari oleh setiap manusia, bahwa mustahil di era kondisi saat ini tidak
bersinggungan atau berinteraksi dengan orang lain yang berbeda keyakinan atau
agama. Sikap yang muncul sebagai upaya menjalankan ajaran agama di
masing-masing penganut agama cenderung memunculkan sikap eksklusif, merasa
paling benar dan paling hebat. Hal ini akan menimbulkan rasa ketidaksenangan
dan kecaman dari penganut agama lain yang merasa disalahkan.
Sikap seperti ini dalam
kondisi interaksi yang heterogen-pluralis tidak akan bisa diterima karena akan
menimbulkan konflik antar penganut agama yang yakin bahwa agamanya adalah agama
yang paling benar. Berbagai fakta sejarah menunjukkan bahwa agama menjadi motor
penggerak kekerasan serta konflik yang berkepanjangan. Ini merupakan hasil dari
interaksi yang eksklusif dalam sikap keberagamaan. Kekerasan atas nama agama
adalah justifikasi teologis yang dibenarkan oleh sebagian penganut agama,
sepertinya tidak ada jalan lain dalam meredam konflik yang terjadi antar umat
beragama di dunia ini. Contoh kasus seperti Ahok ini dan banyak lagi meskipun
agama bukanlah satu-satunya faktor konflik, tetapi agama sangat berperan di
dalamnya.
Betapa kita dapat
merasakan bagaimana bagi sebagian orang menjadi Islam saat ini begitu
menegangkan, tidak relaks. Hingga sebagian ahli mengatakan, kita membela
Palestina dengan tindakan yang lebih palestina ketimbang orang Palestina. Atau
kita bertindak begitu radikal untuk membela nama Allah, sementara Gus Dur
mengatakan, “Allah tidak perlu pembelaan.” Psikologi rapuh, bahkan cenderung
neourotik ini, bukan hanya merugikan Islam sendiri, tapi juga menggelapkan kita
akan adanya pihak “lain” yang dengan senyum “memanfaatkan” kondisi tersebut.
Dalam
hal upaya memperkecil terjadinya konflik umat beragama, ini perlu ada sebuah
wadah yang mampu memposisikan setiap agama dan penganutnya sejajar, tidak ada
perbedaan kelompok sehingga posisi masing-masing agama setara di muka hukum.
Setiap agama diberikan kebebasan dan terjamin hukum dalam mengamalkan ajaran
agamanya tanpa ada tekanan dan intimidasi dan gangguan dari manapun. Inilah
demokrasi yang diperjuangkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Bagi
Gus Dur, demokrasi berarti persamaan hak dan status dari setiap warga Negara
didepan hukum, tanpa melihat perbedaan etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa.
Gus Dur ingin menegaskan bahwa dengan demokrasi setiap agama diberikan hak dan
posisi yang sama untuk berkarya dan mengeluarkan pendapat dalam menyelesaikan
persoalan bersama.
Terfokus
dengan demokrasi di Indonesia khususnya, Gus Dur menyoroti nilai-nilai dasar
yang berhubungan dengannya seperti kemanusiaan, persamaan dan keadilan.
Hubungan antar manusia ini sangat penting untuk era saat ini, dimana modernisasi
sedang berkembang seorang manusia tidak berinteraksi dengan orang yang berbeda
keyakinan. Dalam hal ini, Gus Dur sering mengutip ayat Al-Qur’an surah al
Hujarat ayat 13 yang intinya adalah sesungguhnya perbedaan manusia adalah
kehendak Tuhan yang memiliki karakter untuk saling mengenal satu sama lain.
Gus Dur senantiasa
mengatakan bahwa kita harus selalu berpikiran positif terhadap orang lain, yang
berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting dalam membangun komunikasi yang
baik, untuk mengentaskan dan membicarakan masalah-masalah bersama. Demokrasi
dalam hal ini adalah jaminan bagi setiap agama-agama mendapatkan tempat yang
sama.
Demokrasi bagi Gus Dur
adalah menghendaki untuk melihat masyarakat secara keseluruhan dan Gus Dur juga
mengkritisi umat Islam sendiri yang cenderung berpikir untuk dirinya sendiri.
Selain itu, demokrasi itu adalah take and give yang serius. Demokrasi
itu isinya memberi dan menerima, tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain
untuk, misalnya menanggalkan keyakinan agamanya dalam demokrasi. Tapi bahwa
masyarakat juga memberikan tempat kepada pemikiran yang bukan agama itu juga
tidak bisa dihindari.
Begitupun
juga Indonesia merupakan Negara yang demokratis dan memiliki beragam kebudayaan
dan keberagamaan. Betapa pahitnya melihat kenyataan tersebut, melihat kekuatan
ideologis agama khususnya Islam cukup besar dalam percaturan di tingkat bangsa
ini. Namun, besarnya kekuatan yang dimiliki bangsa ini, terkadang melupakan
bahwa negara ini pada hakikatnya hanya bersendikan kebangsaan belaka. Dan
kenyataannya Indonesia dengan beragam permasalahan di dalamnya masih jauh dalam
wujud demokrasi yang sejati. Wallahu a’lam
bi al-ṣawāb.
Ditulis Oleh: Hurin’in AM
Penulis adalah dosen pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Makrifatul Ilmi Bengkulu Selatan*
Posting Komentar untuk "Agama dalam Wacana; Indonesia Rapuh, Demokrasi Jauh"